Di Atas Gelombang yang Sama
Tuban, 1513.
Angin dari utara membawa bau besi dan darah. Laut Jawa tenang di permukaannya, tapi menyimpan riak ketegangan di kedalamannya. Di kejauhan, seratus lebih kapal mengibarkan panji Kesultanan Demak. Mereka akan berlayar ke Malaka. Di tepian dermaga tua Tuban, satu kapal kecil tanpa panji menunggu.
Di atasnya berdiri seorang lelaki tua dengan tatapan tajam. Kulitnya legam, tubuhnya kekar, rambutnya digulung kain sederhana. Dialah Wiranggaleng, pemimpin pelaut rakyat, bukan sultan, bukan ulama, tapi satu dari anak laut Nusantara yang terluka oleh kabar kejatuhan Malaka ke tangan bangsa asing.
Kepada dirinya sendiri, ia bertanya: “Apakah mereka benar-benar tahu arah lautan? Ataukah hanya membawa perang istana ke lautan luas?”
Di atas geladak kapal kerajaan, Adipati Unus, muda dan bersorban, berdiri tegap. Tangannya menggenggam gagang keris. Tatapannya menembus cakrawala, seolah ingin melampaui gelombang dan waktu. Ia adalah Pangeran Sabrang Lor, putra Demak, pewaris jihad maritim Islam. Bagi Unus, Malaka adalah luka kehormatan Islam dan dagang Nusantara.
Kabar datang bahwa di Tuban, seorang pelaut rakyat ingin bicara. Bukan untuk tunduk, tapi untuk menyampaikan arah. Maka diundangnya Wiranggaleng ke kapalnya.
Pertemuan Dua Laut
Dalam ruang sempit kapal, dua dunia bertemu. Unus dengan jubah dan keris emasnya. Wiranggaleng dengan kulit asin dan tangan kapalan dari dayung.
“Aku dengar kau pernah mengumpulkan rakyat pelaut menyerang Malaka,” kata Unus.
“Pernah. Tapi tak ada yang mau ikut. Para raja lebih suka perang di darat. Tak satu pun kapal kerajaan yang datang.”
Unus mengangguk. “Aku bawa seratus kapal. Aku tidak akan gagal.”
Wiranggaleng menatap diam. Lalu berkata:
“Laut tak mengenal darah bangsawan atau rakyat. Siapa yang tak mengerti gelombang, akan ditelan.”
Unus terdiam. Ia tahu, pemilik suara ini bukan orang biasa.
Saling Menantang, Saling Menghormati
Mereka berbeda:
- Unus bertempur atas nama Demak dan Islam.
- Wiranggaleng bertempur atas nama laut dan masa depan yang dibayangkannya — sebuah Nusantara merdeka, bukan dari istana, tapi dari pelabuhan.
“Kau tahu kau akan kalah?” tanya Wiranggaleng.
“Mungkin. Tapi lebih baik kalah di tengah gelombang, daripada menjadi raja yang tak pernah berlayar,” jawab Unus.
Wiranggaleng tersenyum. Untuk pertama kalinya.
Setelah Itu
- Adipati Unus tetap berlayar. Ia gagal, tapi dikenang sebagai Pangeran Sabrang Lor.
- Wiranggaleng tetap diam di Tuban. Ia tak tercatat dalam bab sejarah, tapi ingatannya mengalir dalam ombak yang tak berhenti.
- Mereka tak pernah bertemu lagi. Tapi mungkin, di satu tempat jauh dalam sejarah laut Nusantara, nama mereka saling memanggil — sebagai dua sisi dari satu arus yang sama: arus balik yang ingin membawa bangsa ini ke dirinya sendiri.
Penutup
Dalam sejarah, Adipati Unus hidup. Dalam fiksi, Wiranggaleng hidup. Tapi dalam ingatan bangsa yang terbelah antara istana dan pelabuhan, keduanya adalah satu pesan:
Bahwa negeri ini tak akan utuh tanpa mendengar suara laut dan darat sekaligus.
Tulisan imajiner dari Buku “Arus Balik – Pramoedya Ananta Toer”.





