Tambang: Besar di Devisa, Kecil di Tenaga Kerja
Indonesia dikenal sebagai negeri kaya sumber daya alam. Dari batubara, nikel, bauksit, hingga emas, sektor tambang sudah lama menjadi mesin penghasil devisa. Data BPS menunjukkan, tambang menyumbang sekitar 5–6% PDB nasional, dan lebih dari 20% ekspor Indonesia masih bergantung pada komoditas tambang.

Grafik perbandingan kontribusi Tambang vs Manufaktur di Indonesia (2025)
Namun, di balik kontribusi itu, tambang hanya menyerap sekitar 1% tenaga kerja nasional. Angkanya kecil karena industri ini padat modal: lebih banyak mengandalkan mesin raksasa, alat berat, dan teknologi, ketimbang tenaga kerja manusia.
Dengan kata lain, tambang memang mendatangkan uang besar, tetapi tidak menjawab persoalan utama Indonesia: lapangan kerja.
Manufaktur: Lebih Kompleks, Lebih Banyak Menyerap
Berbeda dengan tambang, sektor manufaktur menyumbang lebih besar pada ekonomi. Saat ini, manufaktur menyokong sekitar 19% PDB, hampir 70% ekspor nonmigas, dan menyerap 14% tenaga kerja nasional.
Manufaktur lebih berlapis: ada industri tekstil, elektronik, otomotif, makanan-minuman, hingga industri berbasis teknologi tinggi. Industri padat karya seperti garmen dan sepatu bisa menyerap jutaan tenaga kerja, sementara industri teknologi memberi nilai tambah tinggi dan mendorong daya saing global.
Simulasi: Jika Manufaktur Naik
Sebuah simulasi sederhana menunjukkan potensi besar manufaktur. Jika kontribusi manufaktur naik 5% terhadap PDB, maka bisa tercipta lebih dari 5 juta lapangan kerja baru. Bahkan, dengan kenaikan 10%, serapan kerja bisa tembus 10 juta orang.

Grafik simulasi tambahan lapangan kerja jika porsi manufaktur di PDB naik
Sebaliknya, meski harga komoditas tambang naik berkali lipat, dampak terhadap penciptaan kerja relatif terbatas.
Strategi Negara Maju
Jejak negara-negara yang berhasil naik kelas—seperti Korea Selatan, Jepang, hingga Vietnam—jelas: mereka mengandalkan manufaktur sebagai mesin pertumbuhan.
Tambang penting, tapi hanya sebagai bahan baku. Nilai tambah justru tercipta saat sumber daya itu diolah menjadi produk bernilai tinggi: nikel menjadi baterai, karet menjadi ban, atau kelapa sawit menjadi biofuel dan bahan kosmetik.
Jalan ke Depan
Indonesia berada di persimpangan. Tambang tetap vital untuk devisa, tapi tidak cukup untuk menciptakan inklusi ekonomi. Manufaktur, dengan daya serap kerja yang lebih luas, menawarkan jalan lebih strategis menuju cita-cita Indonesia sebagai negara maju.
Jika pemerintah serius mendorong hilirisasi industri, mendukung UMKM industri, serta mengintegrasikan manufaktur dengan digitalisasi dan green economy, bukan tidak mungkin lompatan ekonomi besar bisa terjadi.



