Blog Post

Utang Menumpuk: Defisit APBN Indonesia

Setiap tahun, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi cermin bagaimana pemerintah mengelola ekonomi nasional. Salah satu indikator penting dalam APBN adalah defisit anggaran, yaitu selisih antara belanja negara dan penerimaan negara. Defisit ini sering dipandang negatif karena dianggap menambah beban utang. Namun, pada kenyataannya, defisit juga bisa menjadi instrumen kebijakan fiskal untuk menjaga pertumbuhan ekonomi.

Presiden Prabowo Subianto, dalam Pidato RAPBN 2026 beserta Nota Keuangan di Gedung DPR RI, menegaskan bahwa pendapatan negara diproyeksikan Rp3.147,7 triliun pada 2026, sedangkan belanja negara ditetapkan sebesar Rp3.786,5 triliun.

tren defisit APBN Indonesia 2000–2025 (% terhadap PDB)

Grafik tren defisit APBN Indonesia 2000–2025 (% terhadap PDB). Terlihat jelas lonjakan pada masa pandemi 2020 (6,1%) serta upaya pemerintah menurunkannya kembali di bawah batas UU Keuangan Negara (3%).

Dua Dekade Defisit: Sebuah Keniscayaan

Sejak tahun 2000, Indonesia hampir selalu mencatat defisit APBN. Grafik tren defisit anggaran terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) memperlihatkan bahwa sepanjang dua dekade terakhir, defisit berkisar antara 1–2,5% PDB. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah menggunakan belanja negara sebagai motor penggerak pembangunan, terutama karena penerimaan pajak Indonesia relatif rendah jika dibandingkan dengan kebutuhan pembangunan.

Periode 2000 hingga 2019 relatif stabil. Defisit berkisar rata-rata 1,5–2,2% PDB, mencerminkan disiplin fiskal pasca krisis 1998. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003 yang membatasi defisit maksimal 3% PDB dan rasio utang maksimal 60% PDB.

 

Pandemi COVID-19: Titik Balik Fiskal

Lonjakan terbesar terjadi pada tahun 2020, ketika pandemi COVID-19 menghantam perekonomian global. Defisit APBN melonjak hingga 6,1% PDB, tertinggi sepanjang sejarah reformasi. Pemerintah harus mengeluarkan belanja ekstra untuk kesehatan, bantuan sosial, serta stimulus ekonomi, sementara penerimaan pajak anjlok karena aktivitas ekonomi terhambat.

Kondisi darurat ini membuat pemerintah menangguhkan aturan disiplin fiskal 3% PDB melalui UU No. 2/2020. Selama tiga tahun berikutnya (2020–2022), defisit tetap tinggi di kisaran 4–6%.

 

Kembali ke Jalur Disiplin

Memasuki 2023, defisit berhasil ditekan kembali ke 2,6% PDB, bahkan turun ke 2,3% pada 2024, dan diproyeksikan stabil di angka sekitar 2,5% pada 2025–2026. Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk kembali ke jalur disiplin fiskal sesuai regulasi.

Meskipun defisit masih ada, levelnya tergolong aman. Dengan rasio utang di bawah 40% PDB, posisi fiskal Indonesia dinilai sehat oleh lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia.

 

Mengapa Defisit Terus Terjadi?

Ada beberapa alasan mengapa Indonesia hampir selalu defisit:

  • Kebutuhan Belanja yang Besar – pembangunan infrastruktur, subsidi energi, pendidikan, dan kesehatan memerlukan dana lebih besar daripada penerimaan.
  • Penerimaan Pajak Rendah – tax ratio Indonesia hanya sekitar 10–11% PDB, lebih rendah dari rata-rata negara G20 (sekitar 20%).
  • Kebijakan Counter-Cyclical – pemerintah sengaja menggunakan defisit untuk mendorong pertumbuhan saat ekonomi melambat.

 

Sinyal untuk Masa Depan

Tren defisit yang terkendali memberi sinyal positif bagi investor dan pelaku usaha. Namun, ada tantangan besar ke depan. Pertama, meningkatkan penerimaan negara agar tidak terlalu bergantung pada utang. Kedua, memastikan belanja negara benar-benar produktif dan mendorong pertumbuhan jangka panjang.

Dengan kata lain, defisit bukanlah masalah selama dikelola dengan hati-hati. Yang lebih penting adalah bagaimana pemerintah memanfaatkan setiap rupiah defisit itu untuk memperkuat fondasi ekonomi.

 

Penutup

Sejarah dua dekade terakhir menunjukkan bahwa defisit APBN adalah keniscayaan bagi Indonesia. Pandemi sempat membuat angka defisit melonjak tajam, tetapi pemerintah berhasil kembali ke jalur disiplin fiskal. Ke depan, tantangannya adalah menjaga keseimbangan antara belanja pembangunan dan keberlanjutan fiskal. Selama defisit tetap terkendali dan belanja diarahkan ke sektor produktif, defisit justru bisa menjadi motor penggerak ekonomi, bukan sekadar beban utang.

Comments are closed.