Pada awal tahun 2025, dunia perdagangan internasional kembali diguncang oleh retorika tajam Donald Trump. Mantan Presiden Amerika Serikat yang kini kembali mencalonkan diri menyuarakan wacana kebijakan tarif 32% untuk seluruh barang impor ke AS, termasuk dari Indonesia. Bagi Indonesia, yang memiliki hubungan dagang erat dengan Amerika, ini bukan sekadar perang dagang—tetapi ancaman nyata terhadap tulang punggung ekspornya.
Ekspor Indonesia ke AS: Pilar Ekonomi yang Rawan Guncang
Amerika Serikat merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia. Pada tahun 2024, total ekspor Indonesia ke Negeri Paman Sam tercatat mencapai USD 26,3 miliar, atau sekitar Rp415 triliun jika dikonversikan dengan kurs Rp15.800 per dolar. Surplus perdagangan pun tercatat tinggi, sebesar USD 16,8 miliar, mencerminkan ketergantungan Indonesia terhadap pasar AS dalam menjaga neraca dagang.
Produk-produk unggulan seperti elektronik, pakaian rajutan, alas kaki, mebel, serta produk perikanan adalah wajah Indonesia di pasar AS. Hanya dalam dua bulan pertama tahun 2025 saja, ekspor Indonesia ke AS telah mencapai USD 4,677 miliar (Rp73,9 triliun), yang mencerminkan momentum pertumbuhan yang kuat. Namun, semua ini bisa berubah drastis jika tarif Trump kembali diterapkan.
Mekanisme Tarif: Bagaimana 32% Menggerus Daya Saing
Tarif impor sebesar 32% bukanlah angka kecil. Ini berarti setiap produk Indonesia yang masuk ke AS akan dibebani biaya tambahan yang membuat harganya melonjak. Contohnya, jika Indonesia mengekspor sepatu seharga USD 10, maka importir di AS harus membayar tambahan USD 3,2 sebagai tarif, menjadikan harga total menjadi USD 13,2. Akibatnya, produk Indonesia akan terlihat lebih mahal dibandingkan dengan barang serupa dari negara lain yang tidak dikenai tarif setinggi itu.
Di tengah persaingan global yang makin ketat, perbedaan harga sekecil apa pun bisa menentukan apakah sebuah produk laku di pasar atau tidak. Tarif ini akan memukul daya saing ekspor Indonesia, khususnya dari sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki yang sangat sensitif terhadap perubahan harga.
Sektor Terdampak: Tekstil, Elektronik, dan Mebel dalam Bahaya
Sektor tekstil dan pakaian jadi, yang menyumbang hampir Rp40 triliun dalam ekspor ke AS dalam dua bulan pertama 2025, menjadi sektor yang paling rentan. Industri ini menyerap jutaan tenaga kerja domestik, sebagian besar di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten. Bila permintaan dari AS menurun akibat lonjakan harga, gelombang PHK bisa menjadi keniscayaan.
Begitu pula industri elektronik dan komponen elektrik, yang mencatat ekspor Rp66 triliun hanya dalam dua bulan, akan terancam kehilangan salah satu pasar terbesarnya. Meskipun industri ini lebih terotomatisasi, dampaknya tetap akan terasa di sektor manufaktur dan logistik pendukung.
Industri mebel, yang selama ini menjadi kebanggaan daerah-daerah seperti Jepara dan Pasuruan, juga tak luput dari ancaman. Permintaan furnitur dari AS selama pandemi menjadi berkah, namun tarif tinggi bisa membalikkan situasi menjadi mimpi buruk.
Simulasi Dampak terhadap Ekonomi Nasional
Dengan nilai ekspor ke AS mencapai Rp415 triliun per tahun, pengenaan tarif 32% bisa menyebabkan kontraksi tajam. Jika diasumsikan ekspor Indonesia ke AS turun 20–30% akibat turunnya permintaan, maka potensi kehilangan devisa bisa mencapai Rp83–124 triliun per tahun. Dengan kontribusi ekspor barang dan jasa terhadap PDB nasional sekitar 20%, maka gangguan pada ekspor ke AS saja bisa mengurangi pertumbuhan ekonomi sebesar 0,2–0,4%.
Ini belum termasuk efek domino terhadap pekerjaan, investasi, dan konsumsi rumah tangga di sektor terdampak. Ketidakpastian akibat kebijakan proteksionis seperti ini juga berisiko menghambat arus masuk investasi asing langsung (FDI) ke Indonesia.
Saran dan Opsi Strategis
Pemerintah Indonesia perlu bertindak cepat dan cerdas. Langkah-langkah yang bisa diambil antara lain:
- Negosiasi bilateral melalui Kementerian Perdagangan dan diplomasi aktif untuk menghindari pemberlakuan tarif diskriminatif.
- Diversifikasi pasar ekspor, seperti memperkuat akses ke Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan.
- Insentif bagi eksportir terdampak, termasuk relaksasi pajak dan subsidi logistik.
- Hilirisasi dan peningkatan nilai tambah agar produk Indonesia lebih tahan terhadap tekanan harga.
Indonesia juga bisa mempertimbangkan peningkatan kerja sama dalam kerangka Indo-Pasifik, agar AS melihat Indonesia sebagai mitra strategis jangka panjang, bukan sekadar eksportir.

Ancaman Tarif Trump 32%- Pukulan Telak untuk Ekspor Indonesia?
Belajar dari Masa Lalu, Menyiapkan Masa Depan
Ironisnya, dalam periode pertama kepemimpinannya, Donald Trump justru menjadi sosok yang menyelamatkan CPO Indonesia saat berselisih dengan Uni Eropa. Namun kini, situasinya berbalik. Wacana tarif 32% dari Trump menjadi peringatan keras bahwa ketergantungan pada satu pasar ekspor sangat berisiko.
Indonesia harus belajar dari pola global yang berubah cepat. Dunia bergerak menuju proteksionisme baru, dan ketahanan ekonomi kita hanya bisa dijaga dengan diversifikasi, peningkatan nilai tambah, dan inovasi industri.
Jika tidak, maka tarif hanyalah awal dari badai yang lebih besar di cakrawala perdagangan Indonesia.





